BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
orang yang mempelajari Sosiologi dan komunikasi, sesungguhnya secara tidak
sadar telah mengetahui sedikit tentang sosiologi dan komunikasi Selama
hidupnya, dia telah menjadi anggota masyarakat dan sudah mempunyai
pengalaman-pengalaman dalam hubungan sosial atau berinteraksi dengan antar
manusia. Dia juga menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban dewasa ini merupakan
hasil perkembangan masa-masa yang silam. Semuanya merupakan pengetahuan yang
bersifat sosiologis karena ikut sertanya dia didalam hubungan –hubungan sosial
dan komunikasi dalam membentuk kebudayaan masyarakatnya dan kesadaran akan
adanya persamaan dan perbedaan dengan orang-orang lain memberikan gambaran
tentang objek yang di pelajarinya yaitu sosiologi dan komunikasi.
Awal mulanya, orang-orang
yang meninjau masyarakat hanya tertarik pada kasalah-masalah yang menarik
perhatian umum, seperti kejahatan, perang, kekuasaan golongan yang berkuasa,
keagamaan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, timbullah perumusan
nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang seharusnya di taati oleh setiap manusia
dalam hubungannya dengan manusia lain dalam satu masyarakat.
Perbedaan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan antara harapan dengan kenyataan memaksa para ahli pikir untuk mencarai penyebab-penyebabnya dengan jalan mempelajari kenyataan-kenyataan didalam masyarakat, sehingga timbul berbaai macam teori tentang masyarakat.
Perbedaan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan antara harapan dengan kenyataan memaksa para ahli pikir untuk mencarai penyebab-penyebabnya dengan jalan mempelajari kenyataan-kenyataan didalam masyarakat, sehingga timbul berbaai macam teori tentang masyarakat.
Selanjutnya,
filsafat merupakan asas-asas dari eksistensi dan yang menduga kenyataan yang
terpenting. Kala itu, filsafat adalah ilmu tentang ilmu pengetahuan, kritik dan
sistematika pengetahuan penyempulan ilmu pengetahuan empiris pengajaran
rasional, akal pengalaman, dan seterusnya. Dengan demikaian, filsafat mencakup
ontology, deontologi, epistemology, dan aksiologi. Ontology yang menjadi cabang
filsafat tentang sifat kenyataan riil dan deontologi adalah sifat kenyataan
idil. Epistemology merupakan dasar-dasar batas-batas pengetahuan. Sementara
itu, aksiologi adalah evaluasi atau penilaian dasar-dasar dan kenyataan.
B. Pengertian
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya
dengan masyarakat manusia.
Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang
"kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan
pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan
disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Istilah peradaban sering
digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya"
yang populer dalam kalangan akademis. Dimana
setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan
sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan ... kepercayaan, nilai, bahan
perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara
hidup masyarakat". Namun,
dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah
deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban
dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan
beragam kegiatan ekonomi dan budaya.
Paradigma, pengertian tentang paradigma yaitu pandangan
yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan
terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa
komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang
menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh
cabang ilmu pengetahuan tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI SOSIOLOGI
Sesungguhnya
terdapat banyak sekali teori-teori Sosiologi, akan tetapi disini akan
dibicarakan tiga teori.
1. teori
Fungsionalisme (paradigma Fakta Sosial)
2. teori
Interaksionisme Simbolik (paradigma Definisi Sosial)
3. teori
Pertukaran Sosial (paradigma Perilaku Sosial).
Masing-masing
teori memiliki Subject Matter(obyek studi) sendiri-sendiri karena
masing-masing memiliki Basic Assumption sendiri-sendiri pula.
Perbedaan-perbedan
tersebut pada gilirannya akan menampikan makna yang berbeda pula dalam
menganalisis suatu fenomena-fenomena, utamanya fenomena komunikai dan
masyarakat.
Adapun
arti dari teori-teori tersebut adalah:
1. Teori Struktur
Fungsional (Fakta Sosial). dengan tokoh utamanya Emile Durkheim
Menurut
Ritzer, obyek studi sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta sosial .
Ritzer
menyebutkan bahwa obyek studi paradigma ini adalah bagaimana fakta sosial
mempengaruhi tindakan-tindakan manusia. Misalnya saja bagaimana lembaga agama
mempengaruhi tindakan-tindakan anggota dalam kehidupan bersama orang lain dalam
masyarakatnya( meliputi struktur sosial dan pranata sosial)
Bersifat:
eksternal, umum dan memaksa individu anggota masyarakat.
Struktur
Sosial : Menggambarkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial
berproses dan menjadi terorganisir.
Pranata
Sosial : Adalah norma sosial dan pola-pola nilai sosial.
Ciri-ciri
utama Fakta Sosial :
a. General (umum).
Berlaku
tidak hanya untuk perseorangan, akan tetapi bagi seluruh komunitas. Misalnya
penggunaan Bahasa Indonesia, tidak hanya untuk orang-orang tertentu akan tetapi
siapa saja anggota masyarakat yang menggunakannya.
b. Coercion (memaksa).
Berlaku
memaksa setiap orang untuk memberi arti sebagaimana yang telah disepakati oleh
komunitas penggunanya.
c. External (luar)
Keberadaannya
diluar eksistensi individu, yaitu sebagaimana FS yang lainnya seperti agama,
hukum, kesenian, yang akan tetap ada kendati individu penggunanya telah
tiada.
Menurut
Horton dan Hunt sejumlah asumsi perspektif ini adalah sebagai berikut :
·
Corak perilaku timbul karena secara
fungsional bermanfaat.
·
Pola perilaku timbul karena untuk memenuhi
kebutuhan dan akan hilang apabila kebutuhan telah berubah.
·
Perubahan sosial dapat mengganggu
keseimbangan masyarakat yang stabil, namun kemudian akan terjadi keseimbangan
baru kembali.
·
Suatu nilai/kejadian pada suatu waktu/tempat
akan dapat menjadi fungsional atau disfungsional pada waktu/tempat yang
berbeda.
·
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh pengikut paradigma ini antara lain, apakah perubahan yang diusulkn akan
bermanfaat bagi masyarakat ?
Menurut Ritzer inti
dari obyek studi paradigma ini dalah proses pendefinisian realitas sosial dan
bagaimana orang mendefinisikan situasi, baik secara intra subyektif maupun
inter subyektif, sehingga melahirkan tindakan-tindakan tertentu sebagai
akibatnya.
2. Teori Interaksionisme Simbolik (Definisi
Sosial) dengan tokoh utamanya Max Weber.
Weber menegaskan
bahwa manusia itu adalah makhluk yang kreatif dalam membentuk realitas sosial
(dunianya sendiri), misal anak kecil dengan tongkat kakeknya, seolah-olah
dirinya pahlawan dengan pedang samurai menghadapi raksasa jahat yang sebenarnya
adalah patung batu hiasan. Dengan demikian disimpulkan bahwa manusia bahkan
anak-anak telah mampu menciptakan dunia sosialnya sendiri. Peran-peran kita
sebagai ayah, dosen, peronda dlsbnya adalah bikinan kita sendiri.
Bagaimana
teori Interaksionisme Simbolik menjelaskan tindakan manusia dalam interaksinya
dengan sesama anggota masyarakat, yang tentusaja penjelasan-penjelasan
teoritisnya sesuai dengan asumsi yang telah ditetapkannya.
Menurut
Blumer terdapat asumsi-asumsi sebagai berikut :
a. Manusia
bertindak atas dasar makna yang dimiliki oleh benda, kejadian atau fenomena tsb
bagi manusia. Misalnya pengemis, bagi yang memberi memaknainya sebagai korban
para pemimpin korup. Sedang bagi yang tidak memberi karena menganggap orang tsb
pemalas, karena berbadan sehat tetapi malas bekerja.
b. Makna
suatu benda, kejadian atau fenomena merupakan produk dari interaksi sosial para
anggota masyarakat. Misalnya makna tidak inherent pada bendanya itu sendiri,
akan tetapi merupakan hasil interaksi sosial.
c. Makna-makna
itu dikelola serta dimodifikasikan melalui suatu proses penafsiran yang
digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang
dijumpai sewaktu interaksi sosial berlangsung. Dengan demikian makna itu
merupakan penafsiran dari anggota masyarakat dalam menanggapi kejadian/fenomena
dalam masyarakat.
Ritzer
menyimpulkan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi
dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan simbol yang dipahami
maknanya melaui proses belajar.
Kalangan
interaksionis menegaskan bahwa tindakan manusia bukanlah respons langsung
terhadap stimuli yang dihadapi, jadi stimulus bukanlah determinan faktor.
Antara stimulus dengan respons terdapat intervening variabel yang disebut
“proses mental”, misalnya dorongan sex pada binatang, begitu timbul akan
dilakukan dengan segera, sedangkan manuisa tidaklah demikian.
3. Teori Pertukaran
Sosial (Perilaku Sosial)dengan tokoh utamanya B.F. Skinner.
Menurut
Ritzer obyek studi dari teori ini adalah perilaku manusia (human
behavior). Para behaviorist berusaha untuk mencari dan meramalkan
perilaku sosial yang terjadi sebagai hasil interaksi antar anggota masyarakat.
oleh karena itu paradigma ini menekankan studinya pada respons seseorang
terhadap stimuli yang dihadapinya.
Dalam
teori pertukaran, Homans dipengaruhi oleh para pendahulunya pemikir ekonomi
seperti Smith, David Ricardo dan Stuart Mill, sehingga teori ini sangat
menekankan pada pertimbangan untung-rugi individu dalam interaksi sosialnya.
Asumsi
teori pertukaran ini adalah :
a. Manusia
pada dasarnya tidak mencari keuntungan maksimal, akan tetapi dalam berinteraksi
senantiasa mencari keuntungan.
b. Manusia
tidak selalu rasional, akan tetapi dalam setiap interaksinya cenderung berpikir
untung-rugi.
c. Sekalipun
tidak memiliki informasi semua hal mengembangkan alternatif, akan tetapi
memiliki informasi terbatas yang dapat dipakai landasan mengembangkan
alternatif untuk menghitung untung-rugi.
d. Walau
senantiasa dalam keterbatasan, tetapi manusia tetap berkompetisi mendapatkan
keuntungan dalam bertransaksi.
e. Walau
senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan dari interaksinya, tetapi mereka
dibatasi oleh sumber-sumber yang tersedia.
f. Walau
senantiasa bersaha mendapatkan keuntungan material, tetapi mereka melibatkan
dan menghasilkan hal-hal yang bersifat non-material seperti emosi, perasaan
suka, sentimen dlsbnya.
Peradaban
dan Teori komunikasi
Perkembangan ilmu komunikasi pada masa awal
mungkin menjawab bagaimana kondisi tersebut. Walaupun akhirnya tumbuh di bawah
asuhan ilmu sosial, Ilmu Komunikasi dibangun oleh para ilmuan dari berbagai
cabang ilmu. Sementara pada perkembangannya, memasuki era teori komunikasi
modern, ilmu komunikasi ditopang oleh tradisi informasi dan sibernetika
(Wiener, 1984) yang sering juga disebut pendekakatan mekanistik, hal ini
terjadi pada kurun waktu antara 1950 – 1980-an.
Pasca tradisi informasi dan sibernetika itu, penelitian ilmu komunikasi lebih condong pada proses bagaimana struktur sosial terbangun yang mempopulerkan pandangan fenomenologi. Selain itu, sepertinya minat atau kacamata para peneliti ilmu komunikasi semakin luas, sehingga berbagai penelitian dilakukan oleh pandangan feminis, konstruktivisme, atau marxisme (Rakow & Wackwitz, 2004).
Menurut Dedy N. Hidayat paradigma dalam ilmu komunikasi mengikuti paradigma yang banyak dilakukan dalam ilmu sosial, paradigma-paradigma tersebut diantaranya:
Pasca tradisi informasi dan sibernetika itu, penelitian ilmu komunikasi lebih condong pada proses bagaimana struktur sosial terbangun yang mempopulerkan pandangan fenomenologi. Selain itu, sepertinya minat atau kacamata para peneliti ilmu komunikasi semakin luas, sehingga berbagai penelitian dilakukan oleh pandangan feminis, konstruktivisme, atau marxisme (Rakow & Wackwitz, 2004).
Menurut Dedy N. Hidayat paradigma dalam ilmu komunikasi mengikuti paradigma yang banyak dilakukan dalam ilmu sosial, paradigma-paradigma tersebut diantaranya:
1. Paradigma Klasik
Paradigma ini menempatkan ilmu-ilmu sosial seprti halnya ilmu-ilmu alam fisika. Menempatkan ilmu sosial sebagai metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan deductive logic dengan pengamatan empiris. Bertujuan menemukan hubungan sebab akibat yang dapat digunakan memprediksi pola-pola umum dari gejala sosial tertentu.
2. Paradigma Konstruktivisme
Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action. Ilmu diperoleh melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap prilaku sosial dalam suasana keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan atau mengelola dunia sosial mereka.
3. Paradigma Kritis
Paradigma ini mendefinisikan ilmu sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ilusi atau kesadaran palsu yang ditampakkan dipermukaan. Bertujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar seseorang atau masyarakat dapat memperbaiki dan merubah kondisi kehidupannya.
Ada juga pengelompokan paradigma ilmu komunikasi yang dilakukan
oleh pakar lain, antara lain Guba dan Lincoln (1994) yang membagi ilmu-ilmu
sosial menjadi empat paradigma, yaitu: Positivism, Postpositivism,
Constrictivism, Critical.
Paradigma, sebagai sebuah landasan dalam membangun teori, tidak dapat terlepas pada tiga pertanyaan filosofis, yakni:
Paradigma, sebagai sebuah landasan dalam membangun teori, tidak dapat terlepas pada tiga pertanyaan filosofis, yakni:
·
Ontologi, pertanyaan mengenai sifat dari realitas;
·
Epistemologi, pertanyaan
mengenai bagaimana kita mengetahui sesuatu,
·
Aksiologi, pertanyaan tentang apa yang layak untuk diketahui.
·
Ontologi Ilmu Komunikasi
Ontologi adalah studi mengenai sesuatu yang ada atau tidak ada, atau dengan kata lain ontologi membicarakan/mempelajari realitas. Ketika menyinggung keberadaan sesuatu, makan kita juga akan membicarakan tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologis, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
Ontologi adalah studi mengenai sesuatu yang ada atau tidak ada, atau dengan kata lain ontologi membicarakan/mempelajari realitas. Ketika menyinggung keberadaan sesuatu, makan kita juga akan membicarakan tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologis, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
·
Epistemologi Ilmu Komunikasi
Epistemologi adalah tuntunan-tuntunan (berupa pertanyaan) yang mengantar kita untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Dalam contoh yang umim, epistemologi melipoti metode penelitian apa yang digunakan dalam usaha mengetahui suatu realitas (suatu yang telah ditentukan ada). Epistemologi sangat erat kaitannya dengan ontologi sebagai suatu hubungan antara “ADA” dan bagai mana mengetahui/menjelaskan yang “ADA” itu.
Dalam usaha memperoleh pengetahuan, kita mengenal dua proses besar yang menyatu dalam tradisi penelitian ilmiah, yakni objektivis dan subjektivis.
Epistemologi objektivis mempercayai bahwa sangat mungkin untuk menjelaskan dunia, peneliti melakukan usaha mengakumulasi potongan kecil informasi-informasi mengenai kebenaran, hal ini yang sering kita istilahkan dengan fakta. Pada panjangan objektivis, kebenaran dianggap sesuatu yang objektif. Sementara epistemologi kaum subjektivis menolak pandangan bahwa kebenaran ada di luar orang yang mencari kebenaran. Para subjektivis percaya bahwa kebenaran dunia sosial bersifat relatif dan “hanya dapat dipahami melalui sudut pandang individu-individu yang secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan diteliti” (Burrell & Morgan, 1979)
Epistemologi adalah tuntunan-tuntunan (berupa pertanyaan) yang mengantar kita untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Dalam contoh yang umim, epistemologi melipoti metode penelitian apa yang digunakan dalam usaha mengetahui suatu realitas (suatu yang telah ditentukan ada). Epistemologi sangat erat kaitannya dengan ontologi sebagai suatu hubungan antara “ADA” dan bagai mana mengetahui/menjelaskan yang “ADA” itu.
Dalam usaha memperoleh pengetahuan, kita mengenal dua proses besar yang menyatu dalam tradisi penelitian ilmiah, yakni objektivis dan subjektivis.
Epistemologi objektivis mempercayai bahwa sangat mungkin untuk menjelaskan dunia, peneliti melakukan usaha mengakumulasi potongan kecil informasi-informasi mengenai kebenaran, hal ini yang sering kita istilahkan dengan fakta. Pada panjangan objektivis, kebenaran dianggap sesuatu yang objektif. Sementara epistemologi kaum subjektivis menolak pandangan bahwa kebenaran ada di luar orang yang mencari kebenaran. Para subjektivis percaya bahwa kebenaran dunia sosial bersifat relatif dan “hanya dapat dipahami melalui sudut pandang individu-individu yang secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan diteliti” (Burrell & Morgan, 1979)
·
Aksiologi Ilmu Komunikasi
Posisi tradisional pada aksiologi adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai. Dalam aksiologi olmu pengetahuan, pertanyaan yang masih diperdebatkan adalah bukan mengenai apakah, nilai harus mempengaruhi teori dan penelitian, menailnkan bagaimana nilai harus mempengaruhi keduanya.
Dalam perdebatan tersebut, terdapat tiga posisi yakni; Pertama, proses penelitian terdiri dari banyak tahapan proses dan bahwa nilai seharusnya mempengaruhi beberapa tahapan ini. Contohnya, tahapan pemilihan teori dan pertimbangan mengenai paradigma harus dipengaruhi oleh nilai-nilai dari peneliti. Para ilmuan memilih untuk memandang sebuah masalah penelitian melalui kacamata yang mereka percayai dapat secara akurat menggambarkan dunia. Oleh karenanya, beberapa peneliti memilih kerangka teoritis yang konsisten dengan ontologi pilihan bebas, sementara yang lainnya memilih kerangka yang kaku dan deterministik. Tetapi ketika mereka melakukan uji teori (verifikasi), mereka harus mengeliminasi “nilai extrailmian dari aktivitas ilmiah” (Popper. 1976). Sudut pandang ini memberikan peranan yang sangat terbatas bagi nilai.
Posisi kedua berpendapat bahwa sangat tidak mungkin untuk mengeliminasi nilai dari setiap bagian teori dan penelitiah. Bahkan, beberapa nilai sangat terpatri dalam budaya peneliti, sehingga peneliti tidak sadar memegang suatu prinsip nilai tertentu. Sandra Bem (1993), contohnya, mengamati bahwa banyak penelitian mengenai perbedaan laki-laki dan wanita dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang bias yang dipengaruhi oleh pandangan hidup pada zaman atau lingkungan tertentu. Banyak peneliti feminis berpendapat bahwa, ilmu sosial itu sendiri berada di bawah pengaruh pria (Harding, 1987).
Posisi tradisional pada aksiologi adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai. Dalam aksiologi olmu pengetahuan, pertanyaan yang masih diperdebatkan adalah bukan mengenai apakah, nilai harus mempengaruhi teori dan penelitian, menailnkan bagaimana nilai harus mempengaruhi keduanya.
Dalam perdebatan tersebut, terdapat tiga posisi yakni; Pertama, proses penelitian terdiri dari banyak tahapan proses dan bahwa nilai seharusnya mempengaruhi beberapa tahapan ini. Contohnya, tahapan pemilihan teori dan pertimbangan mengenai paradigma harus dipengaruhi oleh nilai-nilai dari peneliti. Para ilmuan memilih untuk memandang sebuah masalah penelitian melalui kacamata yang mereka percayai dapat secara akurat menggambarkan dunia. Oleh karenanya, beberapa peneliti memilih kerangka teoritis yang konsisten dengan ontologi pilihan bebas, sementara yang lainnya memilih kerangka yang kaku dan deterministik. Tetapi ketika mereka melakukan uji teori (verifikasi), mereka harus mengeliminasi “nilai extrailmian dari aktivitas ilmiah” (Popper. 1976). Sudut pandang ini memberikan peranan yang sangat terbatas bagi nilai.
Posisi kedua berpendapat bahwa sangat tidak mungkin untuk mengeliminasi nilai dari setiap bagian teori dan penelitiah. Bahkan, beberapa nilai sangat terpatri dalam budaya peneliti, sehingga peneliti tidak sadar memegang suatu prinsip nilai tertentu. Sandra Bem (1993), contohnya, mengamati bahwa banyak penelitian mengenai perbedaan laki-laki dan wanita dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang bias yang dipengaruhi oleh pandangan hidup pada zaman atau lingkungan tertentu. Banyak peneliti feminis berpendapat bahwa, ilmu sosial itu sendiri berada di bawah pengaruh pria (Harding, 1987).
bukan hanya nilai yang tidak dapat dihindari, melainkan merupakan
aspek yang diinginkan dari proses penelitian. Misalnya, salah satu tujuan dari
teori adalah perubahan sosial. Siapapun yang memiliki tujuan ini disebut
teoritikus kritis.. Jadi, para ilmuan harus memberikan kontribusi untuk
perubahan kondisi daripada hanya sekedar melaporkan suatu kondisi.
BAB 3
KESIMPULAN
Bahwa dari makalah di atas dapat kita
simpulkan bahwa lahirnya sosiologi komunikasi adalah hasil dari
pemikiran-pemikiran para ahli pada abad pencerahan yang berkembang pada periode
perkembangan intelektual dan pemikiran fiilsafat yang luar biasa.
Pemikiran
manusia yang pada awalnya menaruh harapan yang besar terhadap mitos, logos,
dogma dan kemudian kembali lagi ke logos sehingga membuka pikiran para
intelektual untuk memecahkan masalah tersebut dan terciptalah sosiologi
komunikasi. Dimana konteks sosiologi komunikasi ialah persoalan manusia
difokuskan pada interaksi sosialnya dengan manusia lainnya dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
sangat membantu
BalasHapus