Kamis, 19 Desember 2013

SEJARAH PERADABAN, KUMPULAN TEORI SOSIOLOGI DAN KOMUNIKASI

BAB 1
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Setiap orang yang mempelajari Sosiologi dan komunikasi, sesungguhnya secara tidak sadar telah mengetahui sedikit tentang sosiologi dan komunikasi Selama hidupnya, dia telah menjadi anggota masyarakat dan sudah mempunyai pengalaman-pengalaman dalam hubungan sosial atau berinteraksi dengan antar manusia. Dia juga menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban dewasa ini merupakan hasil perkembangan masa-masa yang silam. Semuanya merupakan pengetahuan yang bersifat sosiologis karena ikut sertanya dia didalam hubungan –hubungan sosial dan komunikasi dalam membentuk kebudayaan masyarakatnya dan kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan dengan orang-orang lain memberikan gambaran tentang objek yang di pelajarinya yaitu sosiologi dan komunikasi.
Awal mulanya, orang-orang yang meninjau masyarakat hanya tertarik pada kasalah-masalah yang menarik perhatian umum, seperti kejahatan, perang, kekuasaan golongan yang berkuasa, keagamaan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, timbullah perumusan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang seharusnya di taati oleh setiap manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam satu masyarakat.
Perbedaan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan antara harapan dengan kenyataan memaksa para ahli pikir untuk mencarai penyebab-penyebabnya dengan jalan mempelajari kenyataan-kenyataan didalam masyarakat, sehingga timbul berbaai macam teori tentang masyarakat.
Selanjutnya, filsafat merupakan asas-asas dari eksistensi dan yang menduga kenyataan yang terpenting. Kala itu, filsafat adalah ilmu tentang ilmu pengetahuan, kritik dan sistematika pengetahuan penyempulan ilmu pengetahuan empiris pengajaran rasional, akal pengalaman, dan seterusnya. Dengan demikaian, filsafat mencakup ontology, deontologi, epistemology, dan aksiologi. Ontology yang menjadi cabang filsafat tentang sifat kenyataan riil dan deontologi adalah sifat kenyataan idil. Epistemology merupakan dasar-dasar batas-batas pengetahuan. Sementara itu, aksiologi adalah evaluasi atau penilaian dasar-dasar dan kenyataan.

B.   Pengertian
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang "kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan akademis.  Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan ... kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat". Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan beragam kegiatan ekonomi dan budaya.


Paradigma, pengertian tentang paradigma yaitu pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut.






BAB 2
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI SOSIOLOGI
Sesungguhnya terdapat banyak sekali teori-teori Sosiologi, akan tetapi disini akan dibicarakan tiga teori.
1.    teori Fungsionalisme (paradigma Fakta Sosial)
2.    teori Interaksionisme Simbolik (paradigma Definisi Sosial)
3.    teori Pertukaran Sosial (paradigma Perilaku Sosial).
Masing-masing teori memiliki Subject Matter(obyek studi) sendiri-sendiri karena masing-masing memiliki Basic Assumption sendiri-sendiri pula.
Perbedaan-perbedan tersebut pada gilirannya akan menampikan makna yang berbeda pula dalam menganalisis suatu fenomena-fenomena, utamanya fenomena komunikai dan masyarakat.
Adapun arti dari teori-teori tersebut adalah:
1.        Teori Struktur Fungsional (Fakta Sosial). dengan tokoh utamanya Emile Durkheim
Menurut Ritzer, obyek studi sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta sosial .
Ritzer menyebutkan bahwa obyek studi paradigma ini adalah bagaimana fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan manusia. Misalnya saja bagaimana lembaga agama mempengaruhi tindakan-tindakan anggota dalam kehidupan bersama orang lain dalam masyarakatnya( meliputi struktur sosial dan pranata sosial)
Bersifat: eksternal, umum dan memaksa individu anggota masyarakat.
Struktur Sosial : Menggambarkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir.
Pranata Sosial : Adalah norma sosial dan pola-pola nilai sosial.
Ciri-ciri utama Fakta Sosial :
a.     General (umum).
Berlaku tidak hanya untuk perseorangan, akan tetapi bagi seluruh komunitas. Misalnya penggunaan Bahasa Indonesia, tidak hanya untuk orang-orang tertentu akan tetapi siapa saja anggota masyarakat yang menggunakannya.
b.     Coercion (memaksa).
Berlaku memaksa setiap orang untuk memberi arti sebagaimana yang telah disepakati oleh komunitas penggunanya.
c.     External (luar)
Keberadaannya diluar eksistensi individu, yaitu sebagaimana FS yang lainnya seperti agama, hukum, kesenian, yang akan tetap ada kendati individu penggunanya telah tiada.
Menurut Horton dan Hunt sejumlah asumsi perspektif ini adalah sebagai berikut :
·         Corak perilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat.
·         Pola perilaku timbul karena untuk memenuhi kebutuhan dan akan hilang apabila kebutuhan telah berubah.
·         Perubahan sosial dapat mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun kemudian akan terjadi keseimbangan baru kembali.
·         Suatu nilai/kejadian pada suatu waktu/tempat akan dapat menjadi fungsional atau disfungsional pada waktu/tempat yang berbeda.
·          Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pengikut paradigma ini antara lain, apakah perubahan yang diusulkn akan bermanfaat bagi masyarakat ?
Menurut Ritzer inti dari obyek studi paradigma ini dalah proses pendefinisian realitas sosial dan bagaimana orang mendefinisikan situasi, baik secara intra subyektif maupun inter subyektif, sehingga melahirkan tindakan-tindakan tertentu sebagai akibatnya.
2.     Teori Interaksionisme Simbolik (Definisi Sosial) dengan tokoh utamanya Max Weber.
Weber menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk yang kreatif dalam membentuk realitas sosial (dunianya sendiri), misal anak kecil dengan tongkat kakeknya, seolah-olah dirinya pahlawan dengan pedang samurai menghadapi raksasa jahat yang sebenarnya adalah patung batu hiasan. Dengan demikian disimpulkan bahwa manusia bahkan anak-anak telah mampu menciptakan dunia sosialnya sendiri. Peran-peran kita sebagai ayah, dosen, peronda dlsbnya adalah bikinan kita sendiri.
Bagaimana teori Interaksionisme Simbolik menjelaskan tindakan manusia dalam interaksinya dengan sesama anggota masyarakat, yang tentusaja penjelasan-penjelasan teoritisnya sesuai dengan asumsi yang telah ditetapkannya.
Menurut Blumer terdapat asumsi-asumsi sebagai berikut :
a.     Manusia bertindak atas dasar makna yang dimiliki oleh benda, kejadian atau fenomena tsb bagi manusia. Misalnya pengemis, bagi yang memberi memaknainya sebagai korban para pemimpin korup. Sedang bagi yang tidak memberi karena menganggap orang tsb pemalas, karena berbadan sehat tetapi malas bekerja.
b.     Makna suatu benda, kejadian atau fenomena merupakan produk dari interaksi sosial para anggota masyarakat. Misalnya makna tidak inherent pada bendanya itu sendiri, akan tetapi merupakan hasil interaksi sosial.
c.      Makna-makna itu dikelola serta dimodifikasikan melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dijumpai sewaktu interaksi sosial berlangsung. Dengan demikian makna itu merupakan penafsiran dari anggota masyarakat dalam menanggapi kejadian/fenomena dalam masyarakat.

Ritzer menyimpulkan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan simbol yang dipahami maknanya melaui proses belajar.
Kalangan interaksionis menegaskan bahwa tindakan manusia bukanlah respons langsung terhadap stimuli yang dihadapi, jadi stimulus bukanlah determinan faktor. Antara stimulus dengan respons terdapat intervening variabel yang disebut “proses mental”, misalnya dorongan sex pada binatang, begitu timbul akan dilakukan dengan segera, sedangkan manuisa tidaklah demikian.
3.   Teori Pertukaran Sosial (Perilaku Sosial)dengan tokoh utamanya B.F. Skinner.
Menurut Ritzer obyek studi dari teori ini adalah perilaku manusia (human behavior). Para behaviorist berusaha untuk mencari dan meramalkan perilaku sosial yang terjadi sebagai hasil interaksi antar anggota masyarakat. oleh karena itu paradigma ini menekankan studinya pada respons seseorang terhadap stimuli yang dihadapinya. 
Dalam teori pertukaran, Homans dipengaruhi oleh para pendahulunya pemikir ekonomi seperti Smith, David Ricardo dan Stuart Mill, sehingga teori ini sangat menekankan pada pertimbangan untung-rugi individu dalam interaksi sosialnya.
Asumsi teori pertukaran ini adalah :
a.     Manusia pada dasarnya tidak mencari keuntungan maksimal, akan tetapi dalam berinteraksi senantiasa mencari keuntungan.
b.     Manusia tidak selalu rasional, akan tetapi dalam setiap interaksinya cenderung berpikir untung-rugi.
c.      Sekalipun tidak memiliki informasi semua hal mengembangkan alternatif, akan tetapi memiliki informasi terbatas yang dapat dipakai landasan mengembangkan alternatif untuk menghitung untung-rugi.
d.     Walau senantiasa dalam keterbatasan, tetapi manusia tetap berkompetisi mendapatkan keuntungan dalam bertransaksi.
e.      Walau senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan dari interaksinya, tetapi mereka dibatasi oleh sumber-sumber yang tersedia.
f.       Walau senantiasa bersaha mendapatkan keuntungan material, tetapi mereka melibatkan dan menghasilkan hal-hal yang bersifat non-material seperti emosi, perasaan suka, sentimen dlsbnya.
Peradaban dan Teori komunikasi
Perkembangan ilmu komunikasi pada masa awal mungkin menjawab bagaimana kondisi tersebut. Walaupun akhirnya tumbuh di bawah asuhan ilmu sosial, Ilmu Komunikasi dibangun oleh para ilmuan dari berbagai cabang ilmu. Sementara pada perkembangannya, memasuki era teori komunikasi modern, ilmu komunikasi ditopang oleh tradisi informasi dan sibernetika (Wiener, 1984) yang sering juga disebut pendekakatan mekanistik, hal ini terjadi pada kurun waktu antara 1950 – 1980-an.

Pasca tradisi informasi dan sibernetika itu, penelitian ilmu komunikasi lebih condong pada proses bagaimana struktur sosial terbangun yang mempopulerkan pandangan fenomenologi. Selain itu, sepertinya minat atau kacamata para peneliti ilmu komunikasi semakin luas, sehingga berbagai penelitian dilakukan oleh pandangan feminis, konstruktivisme, atau marxisme (Rakow & Wackwitz, 2004).

Menurut Dedy N. Hidayat paradigma dalam ilmu komunikasi mengikuti paradigma yang banyak dilakukan dalam ilmu sosial, paradigma-paradigma tersebut diantaranya:

1. Paradigma Klasik

Paradigma ini menempatkan ilmu-ilmu sosial seprti halnya ilmu-ilmu alam fisika. Menempatkan ilmu sosial sebagai metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan deductive logic dengan pengamatan empiris. Bertujuan menemukan hubungan sebab akibat yang dapat digunakan memprediksi pola-pola umum dari gejala sosial tertentu.

2. Paradigma Konstruktivisme

Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action. Ilmu diperoleh melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap prilaku sosial dalam suasana keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan atau mengelola dunia sosial mereka.

3. Paradigma Kritis
Paradigma ini mendefinisikan ilmu sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ilusi atau kesadaran palsu yang ditampakkan dipermukaan. Bertujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar seseorang atau masyarakat dapat memperbaiki dan merubah kondisi kehidupannya.
Ada juga pengelompokan paradigma ilmu komunikasi yang dilakukan oleh pakar lain, antara lain Guba dan Lincoln (1994) yang membagi ilmu-ilmu sosial menjadi empat paradigma, yaitu: Positivism, Postpositivism, Constrictivism, Critical.
Paradigma, sebagai sebuah landasan dalam membangun teori, tidak dapat terlepas pada tiga pertanyaan filosofis, yakni:
·         Ontologi, pertanyaan mengenai sifat dari realitas;
·          Epistemologi, pertanyaan mengenai bagaimana kita mengetahui sesuatu,
·         Aksiologi, pertanyaan tentang apa yang layak untuk diketahui.

·         Ontologi Ilmu Komunikasi

Ontologi adalah studi mengenai sesuatu yang ada atau tidak ada, atau dengan kata lain ontologi membicarakan/mempelajari realitas. Ketika menyinggung keberadaan sesuatu, makan kita juga akan membicarakan tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.

Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologis, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.

·         Epistemologi Ilmu Komunikasi

Epistemologi adalah tuntunan-tuntunan (berupa pertanyaan) yang mengantar kita untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Dalam contoh yang umim, epistemologi melipoti metode penelitian apa yang digunakan dalam usaha mengetahui suatu realitas (suatu yang telah ditentukan ada). Epistemologi sangat erat kaitannya dengan ontologi sebagai suatu hubungan antara “ADA” dan bagai mana mengetahui/menjelaskan yang “ADA” itu.

Dalam usaha memperoleh pengetahuan, kita mengenal dua proses besar yang menyatu dalam tradisi penelitian ilmiah, yakni objektivis dan subjektivis.

Epistemologi objektivis mempercayai bahwa sangat mungkin untuk menjelaskan dunia, peneliti melakukan usaha mengakumulasi potongan kecil informasi-informasi mengenai kebenaran, hal ini yang sering kita istilahkan dengan fakta. Pada panjangan objektivis, kebenaran dianggap sesuatu yang objektif. Sementara epistemologi kaum subjektivis menolak pandangan bahwa kebenaran ada di luar orang yang mencari kebenaran. Para subjektivis percaya bahwa kebenaran dunia sosial bersifat relatif dan “hanya dapat dipahami melalui sudut pandang individu-individu yang secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan diteliti” (Burrell & Morgan, 1979)

·         Aksiologi Ilmu Komunikasi

Posisi tradisional pada aksiologi adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai. Dalam aksiologi olmu pengetahuan, pertanyaan yang masih diperdebatkan adalah bukan mengenai apakah, nilai harus mempengaruhi teori dan penelitian, menailnkan bagaimana nilai harus mempengaruhi keduanya.

Dalam perdebatan tersebut, terdapat tiga posisi yakni; Pertama, proses penelitian terdiri dari banyak tahapan proses dan bahwa nilai seharusnya mempengaruhi beberapa tahapan ini. Contohnya, tahapan pemilihan teori dan pertimbangan mengenai paradigma harus dipengaruhi oleh nilai-nilai dari peneliti. Para ilmuan memilih untuk memandang sebuah masalah penelitian melalui kacamata yang mereka percayai dapat secara akurat menggambarkan dunia. Oleh karenanya, beberapa peneliti memilih kerangka teoritis yang konsisten dengan ontologi pilihan bebas, sementara yang lainnya memilih kerangka yang kaku dan deterministik. Tetapi ketika mereka melakukan uji teori (verifikasi), mereka harus mengeliminasi “nilai extrailmian dari aktivitas ilmiah” (Popper. 1976). Sudut pandang ini memberikan peranan yang sangat terbatas bagi nilai.

Posisi kedua berpendapat bahwa sangat tidak mungkin untuk mengeliminasi nilai dari setiap bagian teori dan penelitiah. Bahkan, beberapa nilai sangat terpatri dalam budaya peneliti, sehingga peneliti tidak sadar memegang suatu prinsip nilai tertentu. Sandra Bem (1993), contohnya, mengamati bahwa banyak penelitian mengenai perbedaan laki-laki dan wanita dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang bias yang dipengaruhi oleh pandangan hidup pada zaman atau lingkungan tertentu. Banyak peneliti feminis berpendapat bahwa, ilmu sosial itu sendiri berada di bawah pengaruh pria (Harding, 1987).

bukan hanya nilai yang tidak dapat dihindari, melainkan merupakan aspek yang diinginkan dari proses penelitian. Misalnya, salah satu tujuan dari teori adalah perubahan sosial. Siapapun yang memiliki tujuan ini disebut teoritikus kritis.. Jadi, para ilmuan harus memberikan kontribusi untuk perubahan kondisi daripada hanya sekedar melaporkan suatu kondisi.

BAB 3
KESIMPULAN
          Bahwa  dari makalah di atas dapat kita simpulkan bahwa lahirnya sosiologi komunikasi adalah hasil dari pemikiran-pemikiran para ahli pada abad pencerahan yang berkembang pada periode perkembangan intelektual dan pemikiran fiilsafat yang luar biasa.
Pemikiran manusia yang pada awalnya menaruh harapan yang besar terhadap mitos, logos, dogma dan kemudian kembali lagi ke logos sehingga membuka pikiran para intelektual untuk memecahkan masalah tersebut dan terciptalah sosiologi komunikasi. Dimana konteks sosiologi komunikasi ialah persoalan manusia difokuskan pada interaksi sosialnya dengan manusia lainnya dalam masyarakat.

  

DAFTAR PUSTAKA



1 komentar: